ASAL USAL NAMA INDONESIA
Alhamdulillah,
kerinduan sama orangtua, sanak saudara, kakak dan adik termasuk masakan khas
jawa special “citarasa khas bunda” terobati. Setengah bulan mudik ke
kampung kelahiran di Nganjuk, Jawa Timur. Seperti biasa saat berkumpul
kami bersaudara bercerita, berdiskusi dengan tema yang beragam, salah satunya
kondisi aktual masyarakat kaitannya dengan kondisi geografis negara kita yang
begitu luasnya sehingga barangkali pemerintah agak ribet mengaturnya ! (agak
nyrempet-nyrempet politis).
“Barangkali
kalau dibagi saja menjadi beberapa negara maka lebih makmur kondisi
masyarakatnya”, pendapat salah satu Kakak yang searah dengan idenya Amin rais
menjelang pilpres langsung yang pertama kalinya dulu. Kalaupun terjadi
negara-negera bagian, waah tentu kami juga kerepotan karena kita tinggal
terpisah jauh, ada di Sulawesi, Jawa dan Sumatra. Memang realita segala sesuatu
kadang tidak semudah yang dibayangkan atau bahkan sebaliknya, ada hal
yang susah dibayangkan tetapi malah mudah dalam kenyataannya. Diskusi ringan
dan yang tidak berfollow up karena kita bukan dalam posisi pengambil kebijakan,
yaa..kami bersaudara sekedar belajar berfikir untuk menciptakan suasana diskusi
yang encer mengalir setelah sekian lama tidak saling bertemu.
Kalau
kita flash back walaupun kita belum lahir, sudahkah kita tahu sebenarnya nama
Indonesia sebagai negara kita itu asal mulanya bagaimana ? (arti, pemberi nama
dan kapan). Apapun profesi kita, akan lebih baik apabila kita mengetahuinya
sebagaimana artikel berikut !
Pada
zaman purba, kepulauan tanah air disebut dengan aneka nama. Dalam catatan
bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut
Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa Indoa menamai kepulauan ini Dwipantara
(Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa
(pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki
menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai
ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan
Dwipantara.
Bangsa
Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk
kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa),
sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana
yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih
sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa
sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis
(Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi
(semuanya Jawa).
Bangsa-bangsa
Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab,
Persia, India dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara
Persia dan Tiongkok semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka
sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”.
Sedangkan tanah air memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel,
Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East
Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan
Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Pada
jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie
(Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai
istilah To-Indo (Hindia Timur).
Eduard
Douwes Dekker ( 1820 – 1887 ), yang
dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang
spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang
artinya juga “Kepulauan Hindia” ( Bahasa Latin insula berarti pulau). Nama
Insulinde ini kurang populer.
Indonesia
Pada
tahun 1847 di Singapura terbit
sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern
Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James
Richardson Logan ( 1819 – 1869 ), seorang Skotlandia yang meraih sarjana
hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli
etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl ( 1813 – 1865 ),
menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam
JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl
menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and
Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba
saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki
nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering
rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama:
Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada
halaman 71 artikelnya itu tertulis:
“… the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan
Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians”.
Earl
sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada
Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu,
sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maladewa.
Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini.
Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak
memakai istilah Indunesia.
Dalam
JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis
artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan
pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah
“Indian Archipelago” terlalu panjang
dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u
digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah
Indonesia.
Untuk
pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254
dalam tulisan Logan:
“Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but
rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term
Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the
Indian Archipelago”.
Ketika
mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian
hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten
menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun
pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan
geografi.
Pada
tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826 – 1905 )
menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak
lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air
pada tahun 1864 sampai 1880. Buku
Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana
Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan
Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam
Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil
istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi
yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).
Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913
beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Nama
indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia)
oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu,
inlander (pribumi) diganti dengan indonesiër (orang Indonesia).
Identitas
Politik
Pada
dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam
etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan
tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis,
yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Akibatnya
pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan
Logan itu.
Pada
tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool
(Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia
di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging
berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia.
Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung
Hatta menegaskan dalam tulisannya :
“Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige
vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak
“Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi
kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena
melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk
mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala
tenaga dan kemampuannya.”
Di
tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924). Pada
tahun 1925, Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische
Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula
menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama
tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal
28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada
bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia
Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo dan Sutardjo
Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama
“Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi
Belanda menolak mosi ini.
Dengan
jatuhnya tanah air ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama
“Hindia Belanda”. Dan setelah itu lahirlah bangsa Indonesia.
This entry was posted on Friday, September
24th, 2010 at 2:23 am and is filed under informasi. You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0
feed. You can skip to the end and leave a response. Pinging is currently not
allowed.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar